Berita Terkini :
http://picasion.com/

POPULASI DAN LINGKUNGAN

Thursday, March 5, 2015 | 0 comments

                            POPULASI DAN LINGKUNGAN

 

Tradisi di abad 19 diadakan studi variasi di alam dan budidaya spesies tumbuhan oleh botanisi seperti Jordan, Kerner, Bonnier, dan Darwin berusaha menghubungkan variasi dengan seleksi alam. Darwin telah menciptakan hokum variasi tetapi pengetahuan herediter masih belum nyata dan masih tingkat dasar. Percobaan klasik Mendel mencoba untuk menjawab adanya variasi secara genetik. Turesson menjelaskan adanya karakter genetik berdasarkan pada perbedaan ekologis dalam populasi spesies, dinyatakan sebagai genecology.

Pada percobaan Turesson disusun adanya system hirarki ekotipe-ecospesies-soenospesies (coenospecies) dan tidak boleh dilupakan susunan ini secara genekologik. Ekotipe (ecotye) sebagai munculya hasil respon secara genotipik dari populasi spesies pada habitat khusus (tipe habitat).

Ekospesies (ecospecies) dipandang penting mempertahankan perbedaan pandangan secara ekologi dan murni genetik, istilah ecospecies diusulkan untuk melingkupi spesies Linnean atau susunan genotipe sebagai perwujudannya di alam. 

Coenospesies (coenospecies) kemungkinan jumlah total kombinasi susunan genotipe.

Turesson juga member kesesuaian analogi secara genetik tetapi agak kurang sempurna.

Fenotipe (phenotype) merupakan ekspresi genotipe seperti hal dimasukkannya genofen (genophene)  yang berbeda genotipe.

Genotipe (genotype) sub-unit Mendelian dari genospesies. 

Genospesies (genospecies) mewujudkan fakta-fakta konstruksi  genotypical dari ecospecies. Istilah digunakan sebagai analogi genetik dari coenospecies.

Genofen sebagai kisaran fenotipe yang terbentuk dari satu genotipe ats pengaruh habitat di alam, dan ekofen (ecophene) tipe reaksi dari ekotipe merupakan  modifikasi oleh pengaruh faktor habitat yang ekstrim.  Definisi yang baik untuk  ekotipe adalah sebagai populasi tanpa barier  internal dalam pertukaran gen, namun hasilnya secara  taksonomis tidak begitu tegas, karena kelompok-kelompok secara morfologis, sitologis, dan geografis memberikan status spesifik, dan  ekotipe berarti merupakan genecologi.

Dapat dianggap bahwa ekotipe merupakan unit dasar dalam klasifikasi biosistematis dan pada kurun waktu tertentu merupakan ras ekologis. Definisi lain ekotipe sebagai populasi yang dibedakan berdasarkan karakter  morfologis dan fisiologis,  yang paling sering dibedakan berdasarkan karakter kuantitatif, bersifat interfertile terhadap ekotipe lain dalam ekospesies, tetapi pertukaran gen bebas dihambat oleh penghalang ekologis. Jadi  definisi ekotipe melibatkan konsep spesies biologis.

Sisi alamiah dan asal ekotipe adalah adanya pemecaha beberapa populasi berdasarkan adaptasi dari habitat khusus yang beragam di dalam kisaran geografis spesies. Berdasar pada genekologi merupakan variabilitas berkaitan dengan asl genetik bukan pemencaran secara acak dalam kisaran spesies, tetapi melalui distriibusi tumbuhan bertetengga dekat yang saling mempengaruhi. Adaptasi yang terjadi dapat diperiksa dari karakter  morfologis dan fisiologis. Differensiasi ekotipik dipicu secara jelas oleh kondisi habitat yang beragam, membentuk populasi alamiah.

 

Temuan Transek Californisn oleh Clausen, Keck, dan Hiesey

Clausen (sitologist), Keck (taksonomist), dan Hiesey (ekofisiologist) mengembangkan penelitian Hall tentang differensiasi genekologis populasi di California. Dari transek sepanjang 200 mil membelah daerah tersebut melalui wilah maritim, pantai, dataran rendah, dataran tunggi, subalpine, alpine, dan basin. Menunjukkan bahwa perbedaan klimatik menmbulkan adanya diskontinuitas ras klimatik atau ekotipe yang terdeteksi pada karakter morfologis, dan paralelisme lebih ke arah karakter fisiologis ketimbang anatomis dan morfologis. Pada Potentilla glandulosa (seksi Drymocallis) terdeteksi adanya 5 ekotipe berdasarkan iklim, dengan perbedaan morfologi dalam hal stature, perawakan, leaf area, dan bentuk bunga majemuk, sedanga fisiologis berbeda dalam hal ritme pertumbuhan, waktu berbunga, dan frost resistance.

School of Gregor.    

Penelitian Gregor yang berkolaborasi dengan Scottish Society for Research in Plant Breeding dengan judul Experimental taxonomy menenkankan bahwa secara jelas pola genotipe dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Taksonomi eksperimental tidak hanya mendasarkan pada morfologis saja, tetapi juga faktor yang mempengaruhinya. Penekanan eksperimental taksonomi menurut Gregor adalah menganalisis ras lokal dari populasi spesies orthodox, dan membuat mengklasifikasi grup yang terbentuk yang ada di alam (“to classify evolving groups as they occur in nature” . Prosedur menurutnya adalah:

1.      Memilih grup tumbuhan

2.      Koleksi sampel meliputi kisaran geografis dan ekologis

3.      Menanam sampel secara representative di kebun percobaan

4.      Membuat observasi variasi diskontinu dan perbandingan biometric dari variasi kontinu

5.      Studi hubungan fertilitas

6.      Penelitian sitologis

7.      Synthesis hasil

Hasil menunjukkan adanya variasi continu yang disebut klin (-cline), ekoklin (ecocline) apabila berkaitan dengan habitat, atau topoklin (topocline) apabila berkaitan dengan topografi atau iklim. Menurutnya ekotipe adalah kisaran ekoklin (a range on an ecocline). Dalam penelitian ini disimpulkan adanya ekotipe ekoklin dan ekotipe stepped cline atau stairstep ecotype

Russian School

Shinkaja mempelajari perkembangan genekologi di Intitude of Plant Industry di Leningrad menindak lanjuti penentuan ekotipe dan klasifikasi dalam penelitiannya berjudul Dynamics of Species (1948). Obyek penelitian adalah Onobrychis di Caucasus utara, hasilnya berupa pembagian populasi Onobrychis menjadi tipe:

1.      High mountain dengan petumbuhan lambat, berbunga cepat, winter perennial.

2.      Midle mountain hanya beberapa berbunga di awal tahun, batang > tinggi, berbunga agak lambat.

3.      Sub-mountain berbunga > lambat lagi

4.      Adjacent steppe semua berbunga di awal tahun, tahan kering, dan spring perennial.

Sejak diketahui bahwa tidak semua differensiasi genotipik di dalam populasi adalah adaptif, dicoba dijelaskan secara praktis perbedaan sejumlah situasi yang berbeda:

1.      Seleksi lingkungan atas genotipe paling fitt pada habitat khusus, dan genotipe yang tidak fit tereliminer , menghasilkan adaptasi genetikal, produk ekologi diturunkan, adalah ekotipe.

2.      Seleksi lingkungan atas genotipe dapat tumbuh pada kisaran habitat, dengan toleransi  kisaran yang luas, produk fenotipik disebut ekad (ecad) atau modifikasi (modification). Botanist dan zoologist masih menganggap sebagai ekotipe, yang merupakan plastisitas fenotipik.

3.      Kolonisasi pada habitat tertentu dengan genotipe berbeda, khususnya inbreeder, menghasilkan variant habitat dengan perbedaan morfologi samar, tetapi dengan adaptif nyata.

4.      Fragmasi kolonisasi ke dalam populasi yang lebih kecil sebagai hasil operasi genetic drift menyebabkan variasi morfologis yang tipis dalam gambaran non-adaptif.

5.      Hibridisasi merupakan awal dari terjadinya ekotipe, dan adanya paralelelisme antara genotipe dan fenotipe.

Beberapa pemikiran tentang ekotipe menklasifikasikannya menjadi bebereapa hal antara lain (Lawarence, 1945):

1.      Ekotipe klimatik (Turesson) sama dengan klimatipe (climatype) (Shinkaja)

2.      Ekotipe edapik (edaphic ecotype) (Shinkaja; Gregor)

3.      Ekotipe biotik (Shinkaja) atau synecotype atau phytosocial ecotype (Gregor) demikian pula agro-ecotype (Gregor)

4.      Ekotipe geografis (Lawrence) atau reclusion type (Tiuresson) atau geo-ecotype (Gregor)

Terdapat beberapa kesulitan penerapan ekotipe dalam keputusan taksonomis, antara lain:

1.      Pada beberapa kasus gambaran adaptasi dari ekotipe tidak dapat digunakan dalam perlakuan taksonomis artinya tidak berkorelasi diantaranya

2.      Kebanyakan perbedaan morfologis antar ekotipe adalah kuantitatif, tergantung pada keturunan poligenik (multiple-gene), diperlukan perlakuan statistik untuk deteksinya, dan mungkin ada variasi di dalam ekotipe (racial difference).

3.      Variasi genekologis dalam populasi mungkin berada pada kategori tingkat rendah dalam klasifikasi nomenclatural dapat dilaksanankan, pada tingkat mikro evolusi.

4.      Kebanyakan variasi ekotipe adalah kontinu melalui pola kinal pada alamiah komplek

5.      Problem final adalah timbul dari perbedaan model pembentukan dan pola distribusi dari variant ekotipe. Beberapa ekotipe tampak muncul secara politopi (polytopically) secara spasial terpisah tetapi secara ekologi habitatnya sama.    

Terminologi –deme

Sistem ini diawali oleh Gilmour & Gregor (1939) dikembangkan oleh Gilmour & Heslop-Harrison (1954), yang member tatanama ekotipe dengan akhiran –deme..

Menunjuk pada asosiasinya dengan faktor lokal dan habitat:

Topodeme: yaitu adanya deme sebagai spesifik wilayah geografi

Ecodeme: yaitu adanya deme sebagai spesifik bermacam habitat.

 

Menunjuk perbedaan jasad:

Phenodeme: suatu deme berbeda dengan lainnya secara fenotipe.

Genodeme: suatu deme berbeda dengan lannya secara genotipe.

Plastodeme: suatu deme berbeda dengan lainnya secara fenotipe tetapi tidak genotipe.

Menunjuk perilaku reprodukasi

Gamodeme:  suatu deme tersusun dari individu dalam situasi spasial dan temporal dibatasi oleh system breeding, semua dapat melakukan interbreed.

Autodeme: suatu deme tersusun dari individu-individu hasil kawin sendiri (autogamous).

Endodeme: suatu gamodeme tersusun dari endogami (inbrreding) tumbuhan berumah dua.

Agamodeme: suatu deme tersusun dari individu-individu tumbuhan apomiksis atau aseksual.

 

Menunjuk trend variasi

Clinodeme: satu seri suatu deme secara kolektif menunjukkan trend variasi yang spesifik, mengacu pada variasi klinal (cline).

Di bawah ini adalah sub dari deme dari berbagai istilah genekologis:

Hologamodeme: suatu deme tersusun dari individu-individu, didalamnya terjadi pembatasan sitem breeding dengan kebebasan tinggi dibawah set kondisi spesifik. Oleh Turesson dimakssud adalah ekospesies.

Coenogamodeme: suatu hologamodeme dianggap yang dapat melakukan pertukaran gen, dengan kebebasan rendah dibawah set kondisi spesifik. Oleh Turesson dimakssud adalah ekospesies. Oleh Turesson dimakssud adalah coenospesies.

Genoecodeme: merujuk pada ekotipe yang secara genotipe berbeda yang dipengaruhi oleh habitat yang berbeda, dan individu di dalamnya mengalami interbreeding fertil.

 

 

 

Continue Reading

VARIASI DALAM POPULASI

Wednesday, March 4, 2015 | 0 comments

 VARIASI DALAM POPULASI

Analisis taksonomis berdasarkan morpho-geografis diperlukan dalam studi evolusioner dan genetik sebagai sumber utama informasi, dan sistem referensi tidak lagi memadai untuk penelitian variasi alamiah, operasi seleksi alam, dan proses evolusioner. Studi kekerabatan evolusioner menekankan tidak hanya secara morfologi yang diekspresikan sebagai fenotipe, tetapi harus diteliti sifat menurun berbasis karakter morfologis yaitu genotipe. Plastisitas fenotipe dan sifat control genetik pada kondisi lingkungan pola variasi terlihat di dalam populasi, dan peran penting sistem reproduksi dalam mempengaruhi pola variasi sangat besar.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas,  taksonomi kini telah memperluas kegiatannya ke bidang sitologi, sitogenetika, genetika, studi populasi, perbandingan tanaman budidaya dan bentuk alamiah spesies, dan kegiatan serupa, kajian seperti itu saat ini dikelompokkan di bawah judul umum yaitu BIOSISTEMATIKA.

Terdapat dua hal yang ditekankan dalam biosistematika tumbuhan: Pertama, adanya aspek fungsional dan praktikal. Tugas pokok pengorganisasian informasi tentang organisme dan mengekspresikan hasil kerangka kerja morfologi dengan pengakuan nomenclatural resmi yang belum digantikan, juga tidak mungkin di masa mendatang, selama manusia bergantung pada informasi visual. Kerangka morfologi akan terus rentan terhadap revisi berdasarkan bukti dari bidang-bidang ilmu yang lebih baru. Beberapa ahli mempercayai, bahwa taksonomi harus berkembang berpatokan pada  morfologi dan  informasi eksperimental yang diperoleh. Tidak ada yang hilang, karena sejumlah besar data dari sitogenetika tidak akan rentan terhadap teatment morfologi atau ekspresi, atau kemungkinan justru akan memotong kerangka taksonomi morfologi, kegiatan kedua taksonomi akan merumuskan cara mengintegrasikan data dan berkaitan dengan skema taksonomi resmi. Klasifikasi alternatif menekankan, sebagai contoh analisis hubungan kekerabatan  sitogenetika terlepas dari morfologi, mungkin akan menjadi bermakna. klasifikasi khusus, seperti skema coenospecies, ecospecies, ekotipe masuk di dalam lingkup kajian biosistematika, tetapi harus dilampirkan dalam skema taksonomi ortodoks.

 

KONSEP  POPULASI

Prinsip dari taksonomi modern, meskipun dinyatakan dengan cara berlainan, bahwa spesies dan taksa yang lebih rendah harus diformulasikan dari populasi di alam. Implikasinya sifat variabilitas dalam spesies diterima sebagai fenomena studi penting dan perlakuan yang tepat, tidak hanya sebagai penyimpangan dari pola atau tipe.

Spesies pada awalnya dideskripsi dari satu atau beberapa specimen, realitanya sebagai gambaran presentasi kecil dari populasi tumbuhan atau karakter aslinya dilapangan. Dobzhansky (1950) “cara klasik mempelajari spesies atau bagian darinya adalah menentukan wahana atau rerata dari sejumlah karakter yang mungkin, dengan sampel yang banyak bermakna praktis. Sistem resultan dari rerata diambil menjadi batas milik spesies ……”.

Bagian besar taksonomi deskriptif tidak dapat mencukupi pada problem kebutuhan sample yang cukup. Kegagalan deskripsi taksonomi terjadi karena analisis lebih ke individual dari pada stuktur populasi. Pada kasus ahli taksonomi mendeskripsikan spesies baru sejauh mana struktur populasi ditentukan, dan harus segera dicek ke aspek tatanama dengan KITT. Validasi taksonomi spesies dapat dilakukan dengan pengulangan dan perbanyakan sampel dari lapangan. Taksonomi akan reprodusibel bila deskripsi takson menggunakan akomodasi sampel yang representative wakil dari populasi. Dalam hal ini dikenal adanya original description yang akan dimodifikasi dengan adanya penambahan sampel dari lapangan. Hal ini terkait dengan typological taxonomy. Dari koleksi sampel secara acak “type” diakui sebagai dasar perbandingan dan pembeda, dan dideskripsi sebagai taksa baru dibedakan dengan yang lainnya.

Populasi dalam taksonomi saat ini digunakan. Dalam reproduksi seksual makhluk unit evolusionarnya adalah populasi local breeding, dan sebagai dasar dari unit klasifikasi dalam biosistematika. Populasi selanjutnya dipelajari di lapangan dan statistik sampel yang merepresentasikan suatu variasi dari populasi, yang mengindikasikan adanya variasi frekuensi gene pool dari gene allele dan kromosom. Hal tersebut menjadi hal yang penting dalam studi keragaman dan variabilitas dari pada tipe dan data rarata. Paing ideal dipadukan dengan keberadaan populasi dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Populasi didefinisikan oleh biosistematika memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan yang didefinisikan oleh ahli taksonomi, namun taksa telah didefinisikan dalam  distribusi geografis yang di dalamnya terdiri dari satu atau lebih populasi. Spesies dan subspecies dianggap oleh ahli taksonomi sebagai populasi, atau serangkaian populasi dari individu, dengan semua perubahan dinamis yang berarti. Mayr menegaskan bahwa konsep populasi terjadi ke pemikiran sistematika evolusi dan genetc dan bukan sebaliknya.

Ketika takson diketahui sebagai representasi dari populasi, karakter dimiliki oleh individu dan individu sebagai anggota populasim, sehingga didapat variasi individu dan variasi grup atau kolektif. Variasi individu terjadi di dalam populasi, termasuk adanya plastisitas masing-masing individual (phenotypic plasticity), sedangkan variasi grup atau kolektif terjadi antar populasi.

 Populasi didefinisikan dengan beberapa cara pandang, dan populasi merupakan kata kunci dalam analisis taksonomi. Populasi dalam taksonomi adalah “any grup of individuals considered together at any one time because of features they have in common”. Secara praktis merupakan kelompok tumbuhan tumbuh bersama dalam kurun waktu tertentu dan terlihat seragam, atau merupakan serangkaian tumbuhan yang mana menempati wilayah tertentu.

Populasi secara dalam analisis genetik adalah pentingnya hidup bersama individu atau grup tertentu dimana mereka dapat melakukan pertukaran gen. Populasi breeding sebagai grup individu diantaranya dapat saling silang dengan greater & lesser degree dengan konsekuensi terjadi gene flow. Sehngga terjadi kemungkinan adanya interbreeding dan similaritas genetik, serta adanya gene pool dalam populasi.Dalam biosistematik terdapat keterbalikan cara pandang yaitu genetik dan kembali ke morfologi. Populasi secara Mendelian “ a reproductive community od sexual  and cross-fertilising individuals which share in common gene pool”. Hal ini tampak mengikuti konsep spesies biologis.

Sirk (1951) membedakan antara populasi plurispesifik dan unispesifik. Populasi plurispesifik tersusun atas semua tanaman hidup bersama di dalam wilayah yang sama, sedangkan, sehingga mengarah ke sosiologi tumbuhan. Populasi unispesifik kelompok individu dalam satu spesies hidup dalam wilayah yang sama.

Populasi merupakan subjek yang berubah: bervariasi dalam ukuran dari tahun ke tahun, membentuk komposisi dalam area, dinamika populasi terjadi secara perlahan dan kontinyu. Topogamodeme merupakan contoh dinamika populasi yang dikaitkan dengan wilayah distribusi geografis yang membentuk unit breeding tertentu.

Di dalam populasi himpunan individu dengan genotipe yang sama atau essential sama genotipenya diketahui sebagai biotipe (biotype). Pada tumbuhan autogami (kawin sendiri) biotipe mungkin tersusun atas banyak individu homosigot. Grup allogami (allogamous) setiap biotipe merupakan individu tunggal. Populasi dapat dtersusun atas satu atau beberapa biotipe. Struktur genetik populasi, dijalankan dengan cara di mana berbagai alel dari gen berbeda didistribusikan di seluruh populasi.

 

 

PENYEBAB VARIASI DALAM POPULASI

Dasar adanya variasi antara individu anggota populasi adalah: (1) modifikasi oleh lingkungan eksternal, (2) mutasi, dan (3) rekombinasi genetik. Pola variasi lebih ditentukan oleh system reproduksi, dan ini dimanfaatkan untuk proses evolusi adaptif oleh seleksi alam. Plastisitas fenotipik menyumbangkan perbedaan individu dalam populasi

 

Variasi Genetik

1.        Mutasi gen

Populasi biasanya mengandung variasi genetik yang disebabkan oleh mutasi acak. Variasi ini berjalan dari generasi ke generasi oleh segregasi dan rekombinasi gen tergantung pada sistem operasi breeding di dalam populasi. Dalam rangka untuk menerka makna yang nyata bagi evolusionis kita harus mengikuti Mayr (1942) definisikan mutasi secara luas sebagai perubahan kromosom secara diskontinyu dengan efek genetik (as a discontinuous chromosomal change with genetic effect).  Mengadopsi definisi tersebut harus dipertimbangkan adanya tiga tingkatan mutasi: yaitu  gen, set kromosom, atau genom. Batas-batas antara tingkat mutasi sulit didefinisikan, dan beberapa mutasi pada satu tingkat mirip efeknya di tingkat atas atau di bawah, perbedaannya terutama pergeseran penekanan. Mutasi gen terutama pengembangan perubahan proses, atau efek pada fenotipe individu. Mutasi kromosom dan genom, perubahan menyeluruh rangkaian proses perbedaan, atau mempengaruhi hubungan antara mereka. Oleh karena itu yang paling mungkin untuk memiliki serangkaian efek umum pada fenotipe, dan juga cenderung adanya organisasi baru materi herediter. Hal ini memberikan kontribusi untuk isolasi reproduktif dari individu mutan dan dengan sebagai  asal-usul spesies biologi (Stebbins, 1959b).

 

2.        Gen dan karakter

Pengaruh mutasi gen pada organisme yang menjadi perhatian ahli taksonomi adalah berbagai macam hal, misalnya pembalikan zigomorfi corolla dari Antirium menjadi aktinomorfi, sepala berlekatan dari Silene menjadi berlepasan, atau taji corolla pada Aquilegia menjadi tidak bertaji, semuanya adalah mutasi atavistic (ke arah kondisi hubungan ke  ansestor. Pada efek ekstrim yang lain bisa begitu kecil dan menyatu dengan modifikasi fenotip yang dihasilkan oleh lingkungan.

Efek perbedaan gen tunggal antara lain pada Atropha mengalami perubahan perawakan annual  ke  biennial merupakan  kemampuan kromosom untuk berpasangan. Pada Geum efek gene tunggal terlihat pada warna bunga.

   

3.        Polimorfisme

Polimorfisme adalah adanya beranekaragam variasi genetik dalam populasi. Genetik polimorfisme mengacu pada variant genetik atau morfologi dalam pasangan seimbang  secara temporer atau permanen di dalam populasi interbreeding tunggal pada single spatial region bukan semata-mata karena mutasi atau persebaran mutan netral.

Kisaran karakter secara luas berkaitan dengan polimorfism, warna bunga (Linanthus parryae), pola bunga, bentuk kimiawi (Eucalyptus), batang halus dan berambut (Digitalis purpurea) yang terjadi pada wilayah geografi berbeda, penanda daun pada Plantago maritime adalah polimorfisme karena mutasi.Tidak semua variasi diantara biotipe dalam populasi dapat ditandai, karena bukan karena gen tunggal tetapi karena banyak gen. Variasi lingkungan dan bahan keturunan dapat memunculkan kurva distribusi normal yang menunjukkan adanya variasi fenotipe dalam populasi, yang hanya akan dibuktikan oleh penelitian breeding atau seleksi.

 

4.        Aksi gen pleiotropik

Berbagai mutasi, mungkin berpengaruh pada fenotipe tumbuhan saat telah berumur tua. Fenomena ini dikenal sebagai pleiotropi (pleiotrophy) yang merupakan tautan gen pada saat tumbuhan berkarakter tua. Pada Nicotiana (Solanaceae) gen yang membentuk tangkai panjang juga membentuk ujung daun, lobus kelopak, lobus mahkota, kepala sari   memanjang, dan ahli taksonomi menentukan sebagai spesies baru dari gen pleiotropik tunggal.

 

 

 

REKOMBINASI DAN SISTEM REPRODUKSI

Rekombinasi gen adalah penting seperti mutasi membentuk variasi adaptif pada tumbuhan tingkat tinggi. Variabilitas rekombinasi genetik lebih luas ditentukan oleh system breeding. Asal-usul dari differensiasi seksual memperkuat prinsip evolusi. Cross fertilisasi system genetik untuk self incompatibility berkembang sebagai perkembangan dari rekombinasi gen. Hal tersebut dalam kemunduran sifat tumbuhan adalah self fertilisasi atau apomiksis. Sistem breeding dalam taksonomi sangat penting, karena dapat menentukan variabilitas genetik dalam populasi yang direfleksikan dalam variasi morfologis dalam populasi.

Inbrreding atau apomiksis menimbulkan generasi yang setara dari generasi ke generasi. Cross fertilisasi dan self fertilisasi dalam populasi takson memunculkan derajat heterosigositas, dan pada spesies atau di bawah tingkat spesies dapat diteliti seberapa besar kesamaan dan perbedaan gamet yang akan melakukan fertilisasi.

Populasi yang perawakannya terbentuk secara seksual sebagai amphimictic, sedangkan yang melakukan pertukaran gen secara bebas diberi istilah panmictic. Populasi breeding lokal (gamodeme) adalah panmictic normal. Populasi yang lebih besar akan menampakan adanya aliran gen, breeding bertendensi terjadi antar individu bertetangga, dan dalam populasi yang besar kelompok individu akan melakukan isolasi terhadap yang lainnya menjadi populasi yang berbeda      

1.        Apomiksis

Beberapa kelompok tumbuhan tidak melakukan reproduksi seksual, istilah apomiksis digunakan sebagai istilah umum yang mewadahi tipe reproduksi non-seksual untuk mengganti atau menghilangkan metode seksualnya. Tetai kadang-kadang dalam suatu populasi spesies terjadi adanya seksual dan apomiksis misalnya pada Poa pratensis terlihat adanya transisi antara seksual komplit dan apomiksis komplit disebut sebagai apomiksis fakultatif. Pada obligate apomicts seperti pada Allium sativum tidak adanya fase seksual yang diketahui. Komplokasi bertambah pada beberapa kasus ketiika rasa atau ekotipe dalam satu spesies adalah apomictic (fakultatif atau obligate) ketika yang lainnya terjadi seksual penuh contoh Bouteloua curtipendula (Poaceae) dan Hieracium umbellatum (Compositae).

Fenomena apomictic dapat dibagi menjadi dua hal yaitu reproduksi vegetatif dan agamospermi (agamospermy)   

a.    Reproduksi vegetatif (vegetative apomiksis)

Dalam hal ini termasuk semua kasus ketika struktur bulbil, tuber, rhizome, stolon, dan lainnya sebagai aksesori normal berarti dalam reproduksi mengambil alih fungsi reproduksi. Seperti Acorus calamus yang bersifat triploid dan dipelihara dengan vegetative dari rhizome. Pada Ranunculus ficaria reproduksi dilakukan dengan tubercle aksiler dari biji yang mereduksi. Klone artisial juga dilakukan untuk reproduksi dari kentang (Solanum tuberosum), owe-uwian (yam) (Dioscorea spp.), Dahlia dan lain-lain.

Vegetatif apomiksis terjadi pada Allium. Dikenal adanya peristiwa pseudo-vivivary pada beberapa spesies Saxifraga dan Agave, dan pada beberapa spesies rumput yaitu Poa vivivara, Festuca vivivara, Deschamsia vivivara dan lain-lain.

b.   Agamospermi

Kelompok ini memiliki special proses yaitu tipe reproduksi membentuk biji dan embrio (lembaga) dengan tanpa proses seksual. Terdapat struktur dan mekanisme seksual, tetapi meiosis dan fertilisasi dihindari atau atau memakai jalur lain sehingga embrio yang terbentuk secara genetik sama dengan induknya. Beberapa tipe proses ini termasuk diplospory, apospory, dan pseudogamy.

Kasus agamospermi adalah progeni (progeny), merupakan individu hasil reproduksi  secara genetik identik dengan tetuanya tersusun atas klon (clone) dari biotipe yang sama. Biotipe dapat dideskripsikan sebagai “spesies” jika memiliki beberapa sifat khas sebagai spesies taksonomik seperti karakter tersebut konstan dan  tidak bervariasi. Namun lebih cocok didefinisikan sebagai “biospesifik” dalam suatu spesies taksonomik.

Apomiktik biotipe sebagai populasi memiliki gene pool yang harus dimultiplikasi dari individu tunggal, sehingga ada pertukaran gen. Beberapa klon apomiktik memunculkan kombinasi genotipe dari spesies yang terisolasi, dan tanpa adanya apomiksis mereka tidak terus ada karena sterilitas.

Seluruh Taraxacum di British telah diuji menunjukkan sebagai apomiktik, dan uji sitologis menunjukkan bahwa apomiksis berjalan dengan hibridisasi dan termasuk mutasi. Spesies lain Taraxacum outbreeder atau inbreeder seksual. Jumlah spesies apomiktik terdestripsi tergantung pada tersedianya ahli flora.

Kesulitan identifikasi terjadi pada grup yang melakukan apomiksis sebagian (partial) pada Rubus fruticosus agg., dan Potentilla spp. keduanya kantong embrio mereduksi atau tidak mereduksi dari sisi-sisi populasi yang sama. Kadang-kadang mereka melakukan reproduksi seksualmenghasilkan seri baru biotipe dari segregasi, memunculkan klon apomiktik baru, generasi seksual, dan “spesies” baru. Pada Potentilla dipelajari berdasarkan karakter sitogenetis, pembentukan biji apomiktik terdapat pada beberapa spesies, tetapi memiliki derajat keragaman di beberapa spesiesnya. Grup P. argentea material dari Scandinavia telah terbukti apomiktik, sedang dari wilayah Mediterranean terdapat individu seksual dimana kantong embrio tidak mereduksi sedangkan yang lain juga mereduksi (P. argentea var. glabra). Pada P. verna adanya grup apomiktik tidak terekspresikan pada perbedaan morfologis.        

2.        Amphimiksis

Derajat hetrosigositas tergantung pada luasnya secara frekuensi relatif dari self fertilisation atau cross fertilization. Endogami (endogamy) atau inbreeding didefinisikan sebagai pasangan individu terdekat, bentuk proses terdekat dari hal ini adalah otogami (autogamy) termasuk self fertilization. Hasil endogami adalah penambahan homosigositas, dan konsekuensinya endogamy yang terus-menerus menghasilkan populasi galur murni (pure line). Allogami (allogamy) atau eksogami (exogamy) disebut juga outbreeding, adalah pasangan antara genotipe yang tidak sam, yaitu yang termasuk pada jalur berbeda (berkerabat jauh). Peristiwa eksogami menambah heterosigositas, implikasi eksogami adalah labilitas genetik, sedangkan endogami menghasilkan kesamaan atau ketetapan genetik (gentic fixity). Kebanyakan tumbuhan berbunga mungkin tidak jelas antara habitual inbreeding, outbreeding, dan outcross pada level lebih tinggi atau rendah. Dalam hal ini diperlukan analisis fungsi dari mekanisme polinasi tumbuhan berbunga dalam hal outcrossing, karena pada system reproduksi tumbuhan di alam terjadi selfing dengan konsekuensi endogamy, atau crossing untuk eksogami.      

a.    Mekanisme pendukung inbreeding

Pada umumnya alat pendukung endogami dikaitkan dengan struktur dan perkembangan bunga. Kemungkinan pengetahuan terbaik untuk contoh adalah fenomena kleistogami (cleistogamy) yaitu bunga tidak menbuka selama anthesis sehingga terjadi penyerbukan sendiri (self polination) atau self fertilization terpaksa. Pada Viola, Oxallis, dan Lamium dua macam tipe bunga dijumpai namun yang paling umum adalah kleistogami. Pada dimorfisme (dimorphism) sejati dimana individu berbeda membentuk tipe bunga yang berbeda seperti pada Impatiens nolime-tangere membentuk bunga kecil kelistogami dan beberapa bunga besar bertipe antara. Kadang terbentuknya kleistogami karena faktor ekologis, pada cuaca basah Lamium amplexicaulis membentuk bunga kleistogami seperti pada kondisi ternaung. Serangga pollinator didaerah ternang beragam, sehingga dibentuk bunga kleistogami untuk mengatasi banyaknya pollinator.

Pada dimorphism bunga dijumpai adanya tipe bunga kleistogami dan kasmogami (chasmogamous) dimana bunga ini melakukan pembukaan perhiasan bunga karena responnya terhadap cahaya matahari, kadang-kadang bunga kleistogami akan menjadi kasmogami pada kondisi penyinaran yang berbeda.

b.    Mekanisme pendukung outbreeding

Mekanisme dari hal ini banyak dan bervariasi, beberapa dijumpai habitual outbreeder yang lainnya dapat menunjukkan derajat outcrossing. Sejumlah tanaman bersifat monoklini (monoclinous) dimana stamen dan karpel dalam bunga yang sama, atau diklini (diclinous) dengan bunga uniseksual termasuk tumbuhan berumah satu (monoecious) dan berumah dua (dioecious). Kisaran system outbreeding utama dari mekanisme alat pada bunga mencegah self-polination (synanthesis) dan temporal yang memiliki efek pada berumah dua dan self incompatibility. Pemisahan seksual komplet (diklini) alamiah dijumpai pada tumbuhan berumah satu (monoecism) dimana seks yang berbeda muncul pada tanaman Zea yang sama.

Pada Zea mays bunga jantan dan betina muncul pada waktu yang berbeda membuat outbreeding lebih efektif. Variasi dari monoecious adalah poligami (polygamy) dapat memiliki bentuk tumbuhan andro-monoecism yaitu ada bunga jantan dan banci (hermaphrodite) dalam satu individu, tumbuhan gyno-monoecism bunga betina dan banci dalam satu individu.

Tumbuhan berumah dua (dioecism) dimana seks terpisah pada individu tumbuhan yang berbeda ini adalah system outbreeding yang paling baik, buka hanya ourcrossing obligate tetapi kebuthan fertilisasi terlaksana secara total. Terjadi pula adanya tumbuhan poligami antara lain gyno-dioecious dimana individu  banci dan betina terbentuk, sehingga menyumbang adanya sejumlah gen yang tidak sama pada generasi berikut. Compositae (Asteraceae), Caryophyllaceae, dan Saxifragaceae adalah suku tumbuhan gyno-dioecious.

Dikogami (dichogamy) adalah tumbuhan yang stigma dan anthera masak pada waktu yang berbeda, membentuk dua macam hal yaitu protandry dimana serbuk sari dilepas sebelum stigma masak, dan protogyny dimana stigma sudah masak dan siap sedangkan serbuk sari belum masak, keduanya memicu terjadinya cross-pollination.

Penyerbukan tetangga (geitonogamy) merupakan faktor yang diabaikan dalam mekanisme outbreeding sebagai autogami namun serbuk sari dembuahi bunga yang berbeda dalam satu individu tumbuhan (bunga tetangga).     

Heterostili (heterostyly) dan mekanisma self-incompatibility. Incompatibilitas mengarah ke outbreeding. Tergantung apabila dioecious, perbedaan genetik terjadi tetapi beroperasi pada bunga banci. Self-incompatibilitas adalah system breeding pada tumbuhan hermaprodit dimana mencegah pembentukan sigot setelah perkawinan sendiri (self-mating). Self-incompatility operasional serbuk sari dan putik pada individu yang sama, sedang cross-incompatibility pada individu, ras, sepeies tumbuhan yang berbeda.   

(1)     Heteromorfi  (Primulaceae, Lythraceae, Linaceae, Rubiaceae)

Grup yang melakukan perkawinan memiliki dua atau lebih perbedaan morfologis, apabila perbedaannya pada tangkai putik panjang dan pendek (distyly), panjang, pendek, dan intermediet (tristyly). Kontrol genetik oleh satu gen denga 2 allel S dan s pada distyly, atau oleh dua gen masing-masing 2 alell Ss dan Mm pada tristyly.

(2)     Homomorfik gametofitik (Solanaceae, Rosaceae, Leguminosae, Srophulariaceae)

Dimana semua grup yang kawin secara morfologis tidak berbeda, control genetik oleh satu gene dengan banyak alel S1,2,3….n  (multiple allelomorph incompatibility)

 

(3)     Homomorfik sporofitik (Compositae, Cruciferae, Rubiaceae)

Sistem ini merupakan kombinasi dari 2 sistem tersebut di atas, control genetiknya dari oleh satu gen dengan banyak allel tetapi reaksi serbuk sari di bawah control sporofitik. Heterostyly pada system ini banyak karakter morfologi dilibatkan antar lain panjang stilus, posisi stigma, tinggi anther, posisi antera, ukuran dan konfigurasi serbuk sari, ukuran dan konfigurasi jumbai stigma.

Semua sistem ini mempromosikan outbreeding reversibel, memungkinkan terjadinya inbreeding. Dengan demikian perubahan morfologi mungkin terjadi di bunga, allel self compatibility mungkin muncul dalam sistem incompatibility, heterostyly menimbulkan homostyly. Reverse evolusi dari inbreeding ke outbreeding lebih jarang terjadi. Fleksibilitas yang besar dari kemajuan evolusi, memungkinkan terjadinya adaptasi terhadap perubahan kondisi.

 

3.        Faktor pengontrol atau sistem modifikasi

Metode reprodksi diketahui beragam, dari catatan waktu dan tempat yang berbeda, berbagai kasus menunjukkan dikontrol mungkin oleh faktor lingkungan dan genetik

a.    Secara entomologis. Terdapat variasi tumbuhan entomofilus (entomophilous) dalam hal jumlah, macam, atau aktvitas serangga sebagai vector serbuk sari membawa perubahan dalam sistem breeding. Vektor dimungkinkan dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, kelembaban, curah hujan, dan predator.

b.    Faktor geografi dan iklim.

c.    Faktor genetik

d.   Modifikasi eksperimental

e.    Seleksi

 

4.        Sistem breeding dalam taksonomi

a.    Inbreeder

b.    Outbreeder

c.    Kekerabatan taksonomis inbreeder dan outbreeder

d.   Apomiksis

Continue Reading
Powered by Blogger.

Entri Populer

Negara PengunjuNg

free counters
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Rizal Suhardi Eksakta * - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger